Langsung ke konten utama

Ilmuwan dan Media Sosial


2013. Tim Asesor AUN (Asean University Network) melakukan peninjauan pada departemen-departemen dan fakultas yang mendaftarkan diri untuk sertifikasi international perguruan tinggi tingkat Asean. Salah satunya adalah Departemen Proteksi Tanaman (PTN), tempat saya bekerja.

Salah satu indikator yang dilihat saat itu adalah adanya website dan media sosial yang interaktif dengan masyarakat. Web saat itu sudah ada. Tetapi bagimana dengan media sosial ?

Dengan takut-takut saya sodorkan kepada pimpinan saya 2 link fanpage facebook dan twitter yang baru saya buat sekitar sebulan sebelumnya. "Maaf Bu, sebelumnya saya telah lancang membuat fanpage dan akun twitter Departemen kita. Tapi baru sedikit followernya," jelas saya. Ini terbilang nekat, karena akun baru tersebut memang bukan resmi dibuat oleh Departemen PTN. Saya membuatnya atas inisiatif sendiri sebagai orang yang suka bermain di media sosial.

Tanpa banyak bertanya, Ketua Departemen PTN menyampaikan link tersebut kepada Tim Asesor. Dan salah satu indikator terkreditasi yaitu adanya akun media sosial akhirnya terpenuhi. Yess!! Selamat, Departemen kami lolos dan terakreditasi.

Hingga saat ini, saya menjadi admin untuk berbagai media sosial Departemen PTN. Pasalnya memang tidak banyak di lingkungan kerja kami orang yang akrab dengan media sosial. Rata-rata staff adalah 'generasi senior'. Sebenarnya menjadi admin media sosial hanyalah selingan, bukan cakupan pekerjaan saya yang utama, yaitu sebagai administrasi keuangan. Saya dibantu oleh dua orang rekan yang juga bukan pekerjaan utamanya sebagai admin media sosial, melainkan sebagai pengolah data base departemen dan dosen muda.

Fakta bahwa ilmuwan enggan bermedia sosial saya ketahui sejak lama di lingkungan kerja saya. Di mana para dosen dan peneliti, baik dari tingkat dosen muda hingga profesor, sebagian besar tidak aktif media sosial, bahkan ada yang anti, sama sekali tidak mau membuat akun media sosial. Beberapa hal yang membuat ilmuwan tidak aktif bermedia sosial adalah :
  1. Menganggap media sosial hanyalah tempat pamer, curhat, dan hal-hal tak serius lainnya yang tidak pantas dilakukan oleh ilmuwan.
  2. Tidak ingin dianggap melakukan promosi diri melalui media sosial. Ilmuwan tidak perlu promosi, biarlah orang tahu kepakaran keilmuan mereka dengan sendirinya, demikian pemikiran konvensional yang ada dalam benak para ilmuwan. 
  3. Tidak memiliki waktu untuk bermedia sosial.
  4. Adanya resiko penyederhanaan bahasa ilmiah dengan bahasa populer yang dapat mengaburkan fakta ilmiah.
  5. Anggapan bahwa masyarakat umum tidak memiliki minat terhadap hal-hal ilmiah sehingga tidak perlu dikomunikasikan secara terbuka.
Dengan pola pikir tersebut di atas, saya sebagai admin juga tidak leluasa untuk berbagi info kepada khalayak. Kendala saya sebagai admin media sosial di instansi berbasis keilmuan dan ilmiah adalah :
  1. Takut salah berbagi informasi. Karena itu, informasi yang kami bagikan sifatnya umum, misalnya reportase event atau kegiatan yang akan dilakukan oleh Departemen.
  2. Belum adanya tim redaksi dan editorial yang khusus menangani media sosial Departemen.
  3. Bahwasanya informasi ilmiah sebaiknya disampaikan langsung oleh pakarnya, ditulis oleh sang ilmuwan dan admin hanya menuliskannya ulang di media sosial. Persoalan saat ini adalah : ilmuwan tidak memiliki waktu dan minat akan hal tersebut.
Padahal, jika menilik fenomena dan kebutuhan netizen saat ini, sudah saatnya para pakar ilmuwan turun langsung untuk meluruskan hal-hal yang seringkali salah tulis. Penulis berita (jurnalis) tidak banyak yang mempunyai kepakaran dalam bidang yang ditulisnya. Sebaliknya, pakar keilmuan tidak punya waktu untuk menulis. Akibatnya apa? Sering beredar informasi yang bias dan salah. Fenomena yang sering kali terjadi saat ini. Sudah saatnya ilmuwan lebih terbuka sehingga dapat bekerjasama dengan wartawan dalam menuliskan informasi yang benar.

Media sosial adalah cara praktis bagi ilmuwan untuk mendekati netizen dan berkomunikasi secara real time. Kebutuhan interaktif ini sebenarnya untuk kedua belah pihak. Netizen butuh informasi, Ilmuwan butuh umpan balik. Ilmuwan dapat menggunakan media sosial untuk mengomunikasikan ilmu pengetahuan dan mencari tahu bagaimana suara masyarakat, memahami kebutuhan mereka, serta mencari praktik terbaik berdasarkan pengalaman-pengalaman orang lain yang didapat dari umpan balik.

Sebagai admin sebuah fanpage berbasis bidang ilmiah, saya menyampaikan kepada Departemen hal apa sih yang ingin dicapai dari aktif di media sosial? Tujuan utama memang untuk promosi pencapaian dan cakupan layanan yang bisa dilakukan oleh Departemen PTN. Media sosial juga berguna untuk meningkatkan keterbacaan website Departemen PTN, yang sebelum ini keberadaannya tidak terdeteksi oleh Google Search.



Sementara ini pekerjaan admin masih belum maksimal karena tidak fokus dalam satu pekerjaan saja. Departemen belum akan merekrut staf baru untuk hal ini. Karena itu, kami bekerja partial dalam memajukan media sosial Departemen ini. Untung saja masih bisa dilakukan secara mobile.

Saya menggunakan smartphone untuk menjalankan peran sebagai admin media sosial Departemen PTN. Peningkatan jumlah follower sangat lambat merayap. Kami maklumi sebagai hasil yang sebenarnya mengenai minat masyarakat terhadap bidang proteksi tanaman. Bahwasanya bidang proteksi tanaman ini belum populer, iya memang demikian adanya. Namun demikian, aktifitas bermedia sosial tidak lantas berhenti hanya karena follower masih sedikit. Akan ada jejak rekam dari hal-hal penting yang kami bagi kepada netizen yang akan berguna di kemudian hari.

Beberapa rambu-rambu tetap harus dipegang sebagai admin, salah satunya adalah keakuratan informasi. Karena itu saya tidak sembarang unggah. Hal lainnya yang harus diingat adalah tidak mengaburkan antara hal pribadi dan hal profesional. Pilihan kalimat juga menyesuaikan dan lebih resmi. Redaksi dan editorial dijalankan melalui grup chatting pengurus departemen. Update berita dimoderasi sebelum tayang di website dan disebarkan di media sosial.

Hal-hal yang kami bagi untuk umum baru sebatas permukaan keilmuan yang dipakari oleh Departemen PTN, seperti foto-foto spesimen serangga dan penyakit, spesimen tumbuhan, unit kerja, laboratorium, event, kunjungan lapang, pendidikan dan kegiatan kerjasama lainnya. Harapannya bisa memancing keingintahuan publik dan mau datang langsung ke Departemen kami untuk mencari tahu, berkonsultasi, berdiskusi atau bekerjasama.

Berjalan dua tahun ini saya masih bersusah payah menanamkan pemahaman bahwa perubahan iklim netizen "memaksa" ilmuwan harus mengakrabi media sosial, baik secara personal dari akun pribadinya, maupun secara institusi melalui akun resmi. Sudah saatnya ilmuwan membuka diri pada publik. Gambaran seorang profesor berkacamata yang suka menyendiri di dalam laboratoriumnya sudah saatnya diganti dengan profesor gaul yang mampu menyampaikan ide dan temuannya kepada khalayak. 

Sudah ada contohnya ilmuwan yang akun media sosialnya aktif, misalnya dokter, psikolog, ahli gizi. IPB sebagai induk dari Departemen kami pun juga telah aktif media sosialnya, maka sudah saatnya kami bergerak lebih aktif.

Ilmu pengetahuan tidak berdiri pada kemampuannya sendiri. Ilmu pengetahuan dinilai keberhasilannya berdasarkan kegunaan (utility) sebanyak-banyaknya pada masyarakat. Di sisi lain, nilai sebuah ilmu tidak universal, kadangkala berbeda di setiap komunitas atau institusi. Karena itu perlu adanya ruang diskusi yang terbuka. Dengan alasan ini, peran ilmuwan juga harus mencakup sebagai komunikator dan pendidik. Ilmuwan, wartawan dan netizen harus bekerjasama untuk meningkatkan kualtias dan jangkauan ilmu menulis.

Rencana ke depan kami ingin memantapkan tim media sosial dengan meningkatkan koordinasi, kejelasan konsep dan aktif meminta data dari pakarnya (peneliti) secara langsung. 


Komentar

  1. Balasan
    1. Ilmuwan mah banyak temannya, beda dari politikus hehe

      Hapus
  2. sekaligus sebagai media informasi untuk masyarakat awam ...setuju ilmuwan harus aktif di media sosial untuk penyampaikan informasi yang tepat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk mendorong ilmuwa mau menulis populer itu susahnyaaa minta ampun. Terbiasa ilmiah kali ya

      Hapus
  3. saya udah pakai 4G mbak, cepat tapi kuota jadi boros, wajar. Sesuai sama kecepatan sih :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bonus 4G ku masih 62 giga. Bakal awet setahun gratis

      Hapus
  4. Di proyek yg sedang aku handle, salah satu poin penilaian maturity kelembagaan adalah penggunaan IT baik sebagai komunikasi maupun kearsipan. Secara tidak langsung lembaga-lembaga yang "serius" juga dikondisikan utk bergerak ke arah digital environment otherwise bakalan kegerus jaman.

    Mungkin ada perlunya juga kali ya para ilmuwan itu dapat pencerahan bahwa akun sosial media bukan hanya utk curhat semata. Tapi bisa dipakai alat utk penetrasi ke pihak-pihak yg sulit dijangkau jika menggunakan media konvensional.

    Anyway, it was awesome becoming volunteer for your institution. Semangat terus ya!

    *komentar paling panjang sepanjang gw blog walking* ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, permasalahan utama adalah kesadaran akan pentingnya hal itu. kalau sudah dirasa penting, budget nggak jadi masalah lagi

      Hapus
  5. Akun yang di atas di kelola mba Arin juga ya, mantep mba. Sepertinya sudah aku follow.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, dijalankan oleh tim sih..tapi ya masih naik turun aktivitasnya.

      Hapus
  6. Semangat mbak, nanti lama-lama stabil bahkan naik terus, aamiin

    salam
    gabrilla

    BalasHapus
  7. kirin mba, semoga semakin tenar mab di sosial media

    BalasHapus
  8. Saintis di Indonesia banyak, bahkan sampai menjadi pemenang Olimpiade Sains Internasional. Penemu 4G konon katanya juga orang Indonesia. Tetapi faktanya saintis Indonesia yang hebat-hebat ini tidak pernah terhubung! Melihat kondisi ini maka Coenocyte, sebagai Media Sosial Sains di ciptakan sebagai tempat terhubungnya saintis-saintis dari seluruh Indonesia. Cek http://bit.ly/coenocyte

    BalasHapus

Posting Komentar