Langsung ke konten utama

Menyikapi “Gado-gado” Karakter Anak


Berjarak 5 tahun tidak menghindarkan kakak-adik Cinta-Asa dari perselisihan dan pertengkaran. Ribut khas anak-anak ini mewarnai hari-hari saya sebagai ibu mereka. Perselisihan itu berawal dari beda karakter, beda keinginan, beda pemahaman., beda umur dan beda jenis kelamin. Jadi banyak faktor pembeda antara keduanya.


Memahami Perbedaan.

Si Kakak Cinta (sekarang 10 tahun) adalah seorang gadis berkarakter lembut, namun mempunyai keinginan kuat. Suaranya pelan. Dia suka membantu saya melakukan pekerjaan rumah. Seingat saya, di usianya 4 tahun Cinta sudah sangat mandiri, bisa makan dan mandi sendiri. Saat ini Cinta sudah terbiasa menyiapkan kebutuhan sekolahnya sendiri. Hobinya membuat eksperimen yang dipelajarinya dari video-video sains di youtube. Mata pelajaran favoritnya adalah IPA. Saya tengah mencoba memahami bahwa Cinta agak kesulitan dalam pelajaran berhitung.

Sedangkan si Adik Asa (sekarang 5 tahun) adalah seorang anak laki-laki periang dan bersuara kencang. Energinya sangat besar, termasuk energi untuk terus berbicara tiada henti di manapun dan kapanpun. Asa suka membantu saya juga, tapi dia juga sering minta “bantuan” alias belum mandiri. Yang saya lihat dari Asa saat ini adalah dia bersifat perfeksionis. Kalau salah dalam menggambar atau menulis dia akan kesal. Kalau melihat benda berserakan dia akan segera merapikannya. Begitupun kalau melihat ketidakwajaran sikap saya ataupun suami, secara spontan Asa akan berkomentar.

Pengalaman lima tahun pertama menjadi ibu saya terbiasa mengasuh dan mendidik anak mengikuti pola karakter Cinta. Saya tidak perlu berulang kali mengulang perintah karena Cinta akan menurut. Apakah ini karakter anak perempuan? Atau karakter anak pertama? Hm, mungkin saling mempengaruhi ya. Karena ketika saya bandingkan dengan anak teman (dengan tujuan sekedar ingin tahu), tidak semua anak perempuan dan tidak semua anak pertama berkarakter seperti Cinta. Dari sini saya sudah berkesimpulan bahwa setiap anak itu unik. Tidak ada karakter yang negatif. Pendiam bukan berarti sifat negatif. Begitupun aktif, banyak bersuara dan banyak bergerak.

Memenuhi kebutuhan.

Ketika saya sudah mulai memahami perbedaan anak, saya berusaha memenuhi kebutuhan sesuai karakternya. Cinta yang pendiam membutuhkan ruang privasi lebih banyak. Saya menghargai privasinya, dengan harapan dia justru akan lebih terbuka jika tidak merasa dimata-matai. Misalnya dalam hal mempercayakan penggunaan smartphone. Rambu-rambu berinternet sehat saya sampaikan padanya, namun saya tidak mengintip-intip aktifitas si pra remaja ini. Namun sesekali waktu saya berbicara empat mata dengannya, mencoba menyelami bagaimana suasana hatinya dan bagaimana kabar teman-temannya. Sedangkan untuk Asa si periang yang gemar bertanya ini itu, saya mendampinginya membaca buku atau melihat youtube tentang tata surya, hal yang sangat ingin diketahuinya.

Di atas tadi adalah sebagian kecil dari kebutuhan yang berbeda dari masing-masing anak. Masih banyak perbedaan kebutuhan lainnya, antara lain dalam hal selera makan, berpakaian, mainan, keingintahuan, hobi, suasana favorit, dan lain-lain.

Menyesuaikan cara berkomunikasi.

Setelah kehadiran Asa, saya butuh adaptasi pola pengasuhan. Terutama dalam sikap penyampaian nasehat atau memberitahu hal apapun. Asa tidak mudah menerima apa yang saya perintahkan. Asa lebih banyak bertanya, banyak beralasan dan tidak mudah menurut. Saya tidak kecewa , karena saya sadari bahwa sikapnya itu adalah bagian dari karakter “laki-laki”nya. Semakin saya berbicara keras, semakin keras pula perlawanannya. Jadi percuma berbicara keras. Salah satu jalan adalah dengan berbicara lembut, menyiapkan 1001 jawaban jika Asa bertanya hingga akhirnya dia menerima perintah atau nasehat.

Hal paling sulit adalah ketika saya disadarkan bahwa tidak boleh membanding-bandingkan karakter dan kemampuan antara keduanya. Sesekali terlontar juga kalimat perbandingan “Lihat tuh Dik Asa, kakak menurut kalau dibilangin”. Kemudian saya ganti dengan kalimat “Adik Asa nanti jadi anak pintar dan menurut pada orangtua ya, seperti Kakak”.

Menghindari Pelabelan.

Pelabelan membuat anak merasa label itu adalah karakternya sepanjang masa. Hal ini harus dihindari. Sebisa mungkin saya mengurangi pelabelan anak secara verbal (didengar langsung oleh anak) dan berusaha sekali membersihkan benak saya sendiri dari pelabelan. Jujur, pelabelan bahwa si A begini dan si B begitu sangat sulit saya hindarkan dalam pikiran saya, bahkan sesekali masih jadi obrolan bisik-bisik antara saya dan suami. Setidaknya, anak tidak mendengar pelabelan ini sehingga tidak memberikan sugesti negative pada dirinya sendiri.

Berkolaborasi dengan Suami.

Saya ingin karakter anak-anak terbentuk dengan lengkap. Ada sosok ibu, ada sosok ayah. Mereka akan memahami bahwa ibu berbeda dengan ayah. Interaksi anak-anak dengan saya berbeda ketika mereka bermain dengan sang ayah. Walaupun tampaknya anak-anak lebih suka bermain dengan ayah (karena ayah itu seru), saya tidak perlu merasa cemburu. Karena saya yakin, mereka juga mencintai saya.

Kehadiran suami juga saya perlukan disaat saya emosi. Begitupun sebaliknya. Jika salah satu dari kami emosi karena menghadapi situasi dimana anak-anak tengah menguji kesabaran, sang pasangan mengalihkan dan mendinginkan suasana. Bukan berarti membela anak-anak, jika mereka salah maka tetap harus diberitahu bahwa sikapnya salah. Mendinginkan suasana diperlukan agar persoalan tidak merembet kemana-mana, orang tua yang tengah emosi bisa menenangkn diri, dan anak tidak mengalami trauma.

Mengingatkan persaudaraan.

Seribut-ributnya anak-anak berselisih, saya tidak ingin memihak pada salah satunya. Dalam perselisihan saya berusaha bersikap kalem, menanyakan duduk persoalan yang sebenarnya dan menjelaskan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Jika saya lihat situasi relatif “aman” saya biarkan mereka menyelesaikan perselisihan sendiri. “Ibu tidak mau ikut campur ya, kalian bersaudara, jadi harus diselesaikan masalahnya. Jangan berantem saja” kata saya.

Satu hal yang selalu saya ulang-ulang disetiap perselisihan mereka adalah bahwa mereka bersaudara. Siapa lagi yang membantu kesulitan satu sama lain kalau bukan saudara. Jadi harus saling menyayangi dan rukun kembali. Rasul pun mengingatkan kita umatnya bahwa sesama muslim harus menjaga ukhuwah, dan tidak boleh berseteru lebih dari 3 hari.

Di sisi lain, saya tahu, perselisihan kakak adik ini akan berkurang seiring kedewasaan mereka. Dan perbedaan ini adalah proses pembelajaran untuk memahami satu sama lain. Baik untuk anak-anak, maupun untuk kami sebagai orangtua.

Komentar