Langsung ke konten utama

BANGGA ADA PORSINYA (Majalah Mother and Baby)



Ada sebuah peristiwa yang sangat membekas saat saya masih duduk di bangku SMA. Ibu datang mengambilkan rapor pada akhir semester. Saya sudah berpesan agar tidak memberitahukan kepada teman-teman mengenai nilai saya. Namun, seminggu kemudian saya mengetahui Ibu tidak menepati janjinya. Ibu menunjukkan isi rapor saya pada beberapa orang teman. Meskipun rangking yang saya peroleh cukup bagus, namun bukan bahagia yang saya rasakan, melainkan malu semua orang mengetahuinya. Saya sendiri tidak bisa menjelaskan kenapa saya harus malu.

Bisa ditebak, saya pulang dengan rasa marah pada Ibu. Ibu mengakui tidak dapat menahan diri. Bapak berusaha menjelaskan bahwa Ibu sangat bangga. Rasa bangganya terlalu besar untuk disimpan sendiri. Saat itu perlu waktu beberapa hari sehingga saya mau berbicara lagi dengan Ibu.

Peristiwa itu terjadi 15 tahun yang lalu. Saat ini saya menyesal telah marah pada ibu, karena perasaan serupa saya alami sekarang. Betapa hal kecil sekalipun tentang kepandaian anak saya, rasanya begitu membanggakan. Pada siapapun yang bertanya tentang kabar keluarga, pasti dengan sangat lancar saya bercerita tentang kepandaian anak saya.

Ya, selayaknya orangtua pada umumnya, saya selalu bangga pada Cinta, putri saya. Kebanggaan itu sangatlah tinggi. Banyak hal yang bisa menjadikan saya terpesona setiap hari. Bertambah besar Cinta, semakin banyak hal yang mengagumkan saya.

Mendadak suatu hari, terbersit pertanyaan dihati. Apa gerangan pendapat orang terhadap rasa bangga saya ini? Apa perasaan lawan bicara saya ketika saya bercerita tentang Cinta. Apakah semua orang menerima cerita saya dengan senang hati? Ternyata tidak. Sensitivitas saya masih berjalan, saya merasa ada sebagian (untungnya sedikit) yang menurut saya enggan mendengarkan kebanggaan saya. Ini bukan masalah usia atau status seseorang sudah menikah, sudah punya anak atau belum. Saya belum bisa menyimpulkan golongan mana. Bersyukur sampai saat ini belum ada yang meminta saya untuk diam.

Jika diantara mereka ada yang menganggap saya terlalu bangga, apakah lantas saya pantas menyangka mungkin saja anaknya tak sehebat Cinta? Saya ingat, sesekali pernah kesal mendengar seorang Ibu dominan bercerita tentang anaknya, apalagi yang mempunyai kelebihan dalam satu hal. Dalam hati,”Anak saya tak kalah hebat, Mom!” Bangga pada anak masing-masing dan saling iri pada kehebatan anak orang lain adalah situasi yang umum terjadi pada pertemuan antar ibu-ibu, saat menunggu anak-anak pulang sekolah.

Disini saya mulai memilih-milih kata, bagaimana menyampaikan kebanggaan ini dan bagaimana mendengarkan kebanggaan orang tua lain dengan hati besar. Juga menjaga agar pembicaraan tidak menjadi dominasi salah satu pihak. Intinya, saya ingin menciptakan suatu “rumpian” yang sehat, saling mengagumi, menyemangati atau berbagi pengalaman.

Cinta sendiri sepertinya dia juga tidak selalu ingin saya banggakan di depan banyak orang. Reaksi berbeda juga ditunjukkan ketika saya memuji kepandaiannya. Kadang langsung marah ketika memergoki saya mengagumi gerakannya meniru iklan TV, atau ketika saya memuji gambarnya yang bagus atau tidak mau saya turut campur ketika dia asyik berbicara dengan salah seorang tantenya dalam sebuah pertemuan keluarga.

Di sisi lain, kadang-kadang Cinta sendiri senang melaporkan hal-hal baru yang dikuasainya dan menunggu-nunggu pujian dari saya. Seperti yang terjadi ketika dia tahu-tahu bisa mulai membaca. Saya pun memujinya “Ya ampun..Mama senang Cinta sekali sudah bisa membaca”. Ini pujian yang keluar dari hati paling dalam. Dan dia terlihat senang puas. Namun Cinta tak akan mau menjawab jika ada pertanyaan yang sifatnya menguji seperti “Cinta pakai baju warna apa?” atau “Mana yang namanya hidung?” padahal mengenal warna dan anggota badan sudah dikuasainya sejak 2 tahun yang lalu.. Sepertinya Cinta sadar si penanya sebenarnya sudah tahu jawabnya.

Kini saatnya saya harus mengambil jalan tengah. Setelah melihat reaksi orang, juga melihat reaksi Cinta, saya berusaha mengeluarkan rasa bangga itu pada ukuran yang pas. Saya tidak mau juga dianggap terlalu membanggakan anak sendiri. Dan ternyata, meskipun seringkali menunggu pujian, ternyata Cinta juga tak mau terlalu dibanggakan. Saya juga tidak ingin Cinta merasa sombong dan enggan belajar lagi. Bangga cukup jadi pembicaraan intern dalam keluarga saja. Dan biarlah orang akan tahu dengan sendirinya bagaimana kemampuan Cinta yang membanggakan itu.

Dimuat di Majalah Parents Guide edisi Oktober 2009

Komentar